Anda harus memahami dulu unsur kewartawanan itu ada tiga yakni pemgumpulan fakta, pengolahan fakta dan penyiaran fakta. Kalau pun anda sudah memahami ketiga unsur itu maka bukan berarti anda lantas berhak mengaku menjadi wartawan. Tidak semudah itu anda bisa mengaku sebagai wartawan. Karena bisa-bisa nanti, anda ditangkap Polisi dengan dugaan wartawan gadungan.
Wartawan atau insan pers atau nyamuk pers bahkan dahulu disebut dengan “kuli tinta” harus diakui adalah penyampai informasi yang paling ampuh dan menentukan dalam membangun opini di seluruh dunia termasuk di tanah air. Peranan pers tertinggi yang dituntut -dari seluruh Insan Pers- tidak lain adalah mampu berperan sebagai pembawa wahana komunikasi dan pembentuk opini yang obyektif. Selain itu tentu saja berperan sebagai penjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan berkeadilan sosial (kerakyatan-red).
Untuk menjalankan peranan tersebut, insan pers telah mendapat payung hukum yang terus diubah sesuai dengan perubahan zaman. Kita telah mengetahui beberapa informasi tentang landasan hukum insan pers nasional yang semuanya mengacu kepada UUD 1945 pasal 28, antara lain adalah :
· UU nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
· UU nomor 4 tahun 1967 (tentang penyempurnaan UU sebelumnya)
· UU nomor 21 tahun 1982 (tentang penyempurnaa UU sebelumnya)
· UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Memang ada yang mengatakan bahwa perubahan atas peraturan dan UU tentang Pers di atas adalah salah satu bentuk atau upaya membungkam pers. Benar atau tidak ke arah sana pemikiran tersebut tidak menjadi focus dalam tulisan ini karena pada dasarnya fokus kita adalah pada issue pelanggaran kode etik pers yang mencuat dalam pemberitaan akhir-akhir ini. Adanya perubahan beberapa kali payung hukum dalam menentukan arah dan kebijakan serta perlindungan kepada wartawan kita, pemerintah telah menerbitkan payung hukumnya beberapa kali. Ini artinya bahwa tidak dapat dipungkiri, sesunguhnya peranan wartawan itu memang baharu. Wartawan dituntut memperbaiki kualitas dan kemampuannya dalam menyikapi arus dan kebutuhan informasi masyarakat dan diarahkan untuk mengemasnya berdasarkan kode etik wartawan Indonesia.
Wartawan kita dari dahulu hingga kini telah berjasa dalam membentuk karakter dan mental pendidikan informasi melalui sarana atau media cetak, tulis serta elektronik. Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir pers Indonesia tidak kenal lelah memberikan informasi yang mampu mencerdaskan masyarakat Indonesia dalam menerima, menyerap dan bersikap terhadap berbagai hal melalui informasi yang mereka terima setiap hari. Harus juga diakui peranan Wartawan selama dekade tersebut semakin meningkat jumlanya untuk mengimbangi padatnya informasi dan kejadian-kejadian yang terjadi di seluruh dunia dan tanah air untuk disajikan kepada pembaca atau pemirsa di tanah air. Dalam peranan tersebut tidak jarang insan pers menghadapi konsekwensi yang tidak menyenangkan baik terhadap sumber informasi maupun terhadap insan pers itu sendiri. Tak jarang beberapa wartawan kita menghadapi tekanan mental, psikologis bahkan jiwanya demi kebenaran yang diyakininya.
Tapi, akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh adanya temuan tentang pelanggaran kode etik pers oleh para jurnalis atau wartawan itu sendiri. Temuan ini berdasarkan pengaduan masyarakat kepada komisi pengaduan masyarakat dan penegakan etikapers. Terdapat 512 pengaduan masayarakat sepanjang 2010. Alangkah ironisnya, dari jumlah pengaduan tersebut ternyata 80% pelanggaran kode etik pers itu justru dilakukan oleh insan pers sendiri, artinya 450 kasus pengaduan masyarakat se tanah air itu terjadi akibat penyampaian informasi wartawan itu sendiri. Luar biasa.
Apakah ada yang salah dengan jumlah pengaduan, atau ada yang salah dengan lokasi pengaduan atau bahkan statemen tersebut bermatan politis dan subyektif? Tidak terlalu penting membahas itu sebab bagi kita berpikir positif saja dulu untuk melakukan flashback, renungan dan tindakan korektif. Siapa tahu memang benar ada yang salah dengan pola dan teknis pemberitaan insan pers kita selama ini. Oleh karena itu dipandang perlu dan penting untuk menganalisa fenomena tersebut dalam beberapa catatan dan kajian berikut ini.
KODE ETIK JURNALISTIK WARTAWAN INDONESIA
PEMBUKAAN
Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak.
Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, seluruh wartawan menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggungjawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Maka atas dasar itu, demi tegaknya harkat, martabat, integritas, dan mutu kewartawanan Indonesia serta bertumpu pada kepercayaan masyarakat, dengan ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
BAB I
KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS
Pasal 1
Wartawan Indonesia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila , taat kepada Undang-Undang Dasar Negara, Ksatria, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan lingkungannya, mengabdi pada kepentingan bangsa dan negara serta terpecaya dalam mengemban profesinya.
Pasal 2
Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan patut tidaknya menyiarkan berita, tulisan atau gambar, yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan negara, persatuan dan kesatuan bangsa, menyinggung perasaan agama, kepercayaan dan keyakinan suatu golongan yang dilindumgi oleh Undang-undang.
Pasal 3
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis dan sensasi berlebihan.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak menerima imbalan untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang atau sesuatu pihak.
KODE ETIK JURNALISTIK
BAB II
CARA PEMBERITAAN
Pasal 5
Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta mencampuradukkan fakta dan opini sendiri. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.
Pasal 6
Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.
Pasal 7
Wartawan Indonesia dalam pemberitaan peristiwa yang diduga menyangkut pelanggaran hukum dan atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.
Pasal 8
Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila tidak menyebut nama dan identitas korban. Penyebutan nama dan identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur, dilarang.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menulis judul yang mencerminkan isi berita.
KODE ETIK JURNALISTIK
BAB III
SUMBER BERITA
Pasal 10
Wartawan Indonesia menempuh cara yang sopan dan terhormat untuk memperoleh bahan berita, gambar, atau tulisan dan selalu menyatakan identitasnya kepada sumber berita.
Pasal 11
Wartawan Indonesia dengan kesadaran sendiri secepatnya mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata tidak akurat, dan memberi kesempatan hak jawab serta proporsional kepada sumber dan atau obyek berita.
Pasal 12
Wartawan Indonesia meneliti kebenaran bahan berita dan memperhatikan kredibilitas serta kompetensi sumber berita.
Pasal 13
Wartawan Indonesia tidak melakukan tindakan plagiat, tidak mengutip berita, tulisan, atau gambar tanpa menyebut sumbernya.
Pasal 14
Wartawan Indonesia harus menyebut sumber berita, kecuali atas permintaan yang bersangkutan untuk tidak disebut nama dan identitasnya sepanjang menyangkut fakta dan data bukan opini.
Apabila nama dan identitas sumber berita tidak disebutkan, segala tanggung jawab ada pada wartawan yang bersangkutan.
Pasal 15
Wartawan Indonesia menghormati ketentuan embargo, bahan latar belakang, dan tidak menyiarkan informasi yang oleh sumber berita tidak dimasukkan sebagai bahan berita serta atas kesepakatan dengan sumber berita tidak menyiarkan keterangan off the record.
KODE ETIK JURNALISTIK
BAB IV
KEKUATAN KODE ETIK JURNALISTIK
Pasal 16
Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penataan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing.
Pasal 17
Wartawan Indonesia mengakui bahwa pengawasan dan penetapan sanksi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik ini adalah sepenuhnya hak organisasi dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan PWI. Tidak satu pihak pun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasarkan pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusiayang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untukdikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Profesionalisme memang dapat dipelajari, akan tetapi beberapa diantara insan pers lebih memilih kurang perduli dan kurang penting mengikuti pendidikan peningkatan kualitas SDM (bidang pers) karrena merasa telah cukup berbekal kemampuan menulis dan pengalaman. Padahal dalam kompetisi pers zaman millenium ini tidak saja menuntut kemampuan menulis dengan baik dan jam terbang yang tinggi, tetapi yang tidak kalah penting adalah kesiapan menerima perubahan cara berpikir masyarakat secara universal terutama dalam bidang teknologi dan informasi. Wartawan yang memilih status quo dan reaktif menerima perubahan dalam bidang Teknologi komunikasi dan informasi ini sulit berubah.
Dengan demikian, kita tidak akan temukan lagi wartawan tembaj, wartawab bodrex atau wartawan dadakan. Ini akan menganggu reputasi dan nilai tambah para wartawan sejati dan profesional lainnya. Jangan sampai gara-gara nilai setitik, rusak susu sebelanga. Gara-gara memelihara wartawan yang amatiran membuat wartawan sejati menjadi tercoreng nilainya. Tapi yakinlah, masyarakat kita juga telah cerdas memilah mana yang benar dan mana yang tidak benar. Wartawan tetap dirindukan kehadirannya siang dan malam. Tanpa wartawan berita yang hadir hanya menurut opini masing-maising saja. Apa jadinya dunia yang dipenuhi oleh opini masing-masing? Terlalu berbahaya bukan? Itulah pentingnya wartawan sejati yang bekerja penuh dedikasi dan profesional.
KODE ETIK JURNALISTIK
KODEETIK AJI (ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN)
- Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
- Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.
- Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang kurang memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
- Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.
- Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui masyarakat.
- Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.
- Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the record, dan embargo.
- Jurnalis segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat.
- Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana di bawah umur.
- Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa, politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental atau latar belakang sosial lainnya.
- Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal-hal itu bisa merugikan masyarakat.
- Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman kekerasan fisik dan seksual.
- Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.
- Jurnalis tidak dibenarkan menerima sogokan.
Catatan:
yang dimaksud dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa uang, barang dan atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.
- Jurnalis tidak dibenarkan menjiplak.
- Jurnalis menghindari fitnah dan pencemaran nama baik.
- Jurnalis menghindari setiap campur tangan pihak-pihak lain yang menghambat pelaksanaan prinsip-prinsip di atas.
- Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik akan diselesaikan oleh Majelis Kode Etik.
Selain itu, Anda juga harus mengetahui dua kode etik jurnalistik yakni KEJ dan KEWI. Nah berikut ini, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI (Persatuan Wartawan Indonesia):
- Berita yang diperoleh dengan cara yang jujur. Wartawan wajib menyertakan identitas.
- Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).
- Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
- Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebutkan namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberitahu dimana ia mendapatkan beritanya jika orang yang memberikan beritanya memintanya merahasiakannya.
- Tidak memberikan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes only).
- Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu surat kabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yakni:
- Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
- Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan berita serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
- Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampurkan fakta dan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
- Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan asusila.
- Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.
- Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo. informasi latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.
- Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) atau dikenal juga dengan Kode etik Pers akhir-akhir ini semakin tersamar wujudnya. Mungkin saja beberapa jurnalis resmi, freelance dan part timer bahkan kontributor berita mengetahui UU pers atau peraturan tentang tata tertib mengenai pers tapi tidak mengetahui dengan mendetail isi UU dan Peraturan tersebut.
Inti dari peraturan tentang kode etik pers yang patut dan musti diperhatikan oleh seluruh Insan Pers adalah sebagai berikut :
- Hormati hak masyarakat untuk dalam memperoleh informasi yang BENAR
- Tempuh cara yang Etis dalam memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberi identitas yang jelas pemberi informasi.
- Menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, tidak melakukan plagiat, tidak mencampurkan fakta dengan opini serta meneliti kebenaran informasi dan berimbang.
- Tidak menyiarkan berita yang mengandung fitnah, cabul, sadistis dan tidak menuliskan identitas korban kejahatan asusila.
- Tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi
- Memiliki hak tolak, merahasiakan informasi latar belakang sesuai kesepakatan
- Mencabut dan meralat kekeliruan dan melayani hak jawab.
Ke tujuh poin penting KEWI tersebut di atas, sepintas kelihatan mudah sekali melaksanakan hal tersebut, tapi sesungguhnya sangat berat menjaga 7 (tujuh) ketentuan tersebut dengan baik dan benar. Maka tak heran BELUM semua insan pers mampu melaksanakan 7 poin penting itu dengan baik dan benar.
Banyak faktor dan penyebab insan pers TIDAK atau BELUM mampu melaksanakan ke 7 ketentuan KEWI dengan baik benar, penyebabnya adalah :
Terlalu mudah menerbitkan surat izin Penerbitan Perss (SIUPP) yang berimplikasi kepada tuntutan kebutuhan terhadap tenaga pers. Pada sisi lain, ketersediaan pers yang benar-benar Pers sesungguhnya musti kita akui (sadari dengan jujur) belum memenuhi standard kompetensi pers yang ideal.
Masyarakat pernah memberi predikat “Wartawan Bodrex” atau “Wartawan tembak” representasi pengakuan masyarakat tentang adanya Pers yang tidak memiliki muatan KEWI di atas. Ke dua kenis kelompok stigma tidak baik di atas menandakan adanya berkeliaran wartawan kurang atau bahkan TIDAK Profesional.
Insan pers yang berada di provinsi metropolitan ternyata mendominasi pelanggaran kode etik pers, bahkan di DKI Jakarta terdapat 68 kasus, ini menandakan bahwa wartawan yang menjalankan profesinya dengan tidak profesional dan proporsional ternyata lebih banyak di kota metropolitan. Apakah kebutuhan akan tingkat kemakmuran wartawan di ibukota lebih rawan dan rentan terhadap terjadinya peluang pelanggaran kode etik pers. Kongkritnya, apakah wartawan di kota metropolitan lebih rendah komitmen dan integritasnya? atau memang karena kasus-kasus di kota metropolitan yang memang sangat tinggi rating kejadiannya sehingga merasa perlu menyeret pelakunya?
Tidak dapat dipungkiri, dari 26 organisasi wartawan di tanah air, diantara para Wartawan yang bernaung di dalam organisasi yang mulia ini pasti ada beberapa oknum yang tidak menjalankan fungsi dan peranannya sebagai wartawan dengan profesional karena alasan yang dikemukakan di atas.
Apa bukti adanya indikasi seperti dikemukakan di atas? Sebagaimana yang dikemukakan oleh Agus Sudibiyo Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat -telah dipublikasikan ke seluruh media massa, baru-baru ini- ada beberapa bentuk kejadian pelanggaran tersebut, antara lain adalah pemberitaan yang tidak berimbang, menghakimi, bernuansa opini pribadi, tidak menggali informasi dengan akurat, keterangan yang diperoleh dari narasumber berbeda dengan yang ditulis dalam berita.
Apa akibatnya dari penyikapan yang melanggar kode etik pers? Ada beberapa kasus ditemukan insan pers kita berada dalam tindakan intimidasi, terancam eksistensinya, depresi bahkan yang mengerikan adalah tindakan yang membahayakan jiwanya dan ternyata ada yang menemui ajalnya akibat kemarahan yang amat sangat dari narasumber yang merasa dipojokkan yang berakibat hancurnya kredibiitas dan reputasi yang bersangkutan.
Kejadian itu bukan rekayasa atau tanpa dasar dan tanpa bukti. Agus Sudibyo sendiri mengatakan bahwa, dari jumlah kasus pengaduan sepanjang 2010 lalu itu, 80% dari kasus yang coba ditengahi atau dimediasi oleh komisi ini ternyata ditemukan bukti dan fakta bahwa Insan Pers sendiri yang ternyata tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan kode etik pers (KEWI).
Apakah dengan adanya temuan ini membuat nyali dan semangat serta motivasi insan pers menjadi ciut dan rendah karena berada pada posisi yang dilematis? Tentu saja tidak begitu dan tidak diharapkan akan seperti itu. Yang diharapkan adalah adanya upaya untuk mengenal lebih jelas dan mendetail UU Pers yang berlaku saat ini, ditambah dengan menghayati dan mengamalkan KEWI (7 poin) di atas dengan sebaik-baiknya. Tentus saja diikuti oleh langkah-langkah peningkatan kualitas sumber daya sebagai wartawan sehingga mencapai titik profesional dan terus memelihara eksistensi profesionalismenya dengan mempelajari berbagai perkembangan dan perubahan dalam Teknik Informasi dan Komunikasi.
0 Response to "Ingin menjadi wartawan Profesional"
Post a Comment