Kristen Mulai Masuk
Lima belas tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, agama Kristen sudah menapaki daratan Aceh Singkil yang saat ini diketahui sebagai daerah terdekat dengan perbatasan. Kristen pertama sekali masuk ke wilayah Aceh Singkil pada tahun 1930 melalui seorang penginjil yang berasal dari Salak, Pakpak Bharat, pendeta itu bernama evangelist I.W Banurea. Hingga pada tahun 1932 si pendeta Evangelist tersebut bekerjasama dengan perkebunan Socfindo untuk mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa itu dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Sampai dengan saat ini, sudah ada 15 ribu jiwa yang memeluk agama Kristen. Mencengangkan, karena pemeluk-pemeluk Kristen ini tidak hanya warga Singkil, tapi satu-persatu dimasukkan dari daerahnya.
Tahun 1968, Daud Beureu’eh yang sempat menjabat sebagai gubernur militer Aceh sekaligus seorang ulama dan pejuang kemerdekaan Indonesia sempat mendatangi kecamatan Lipat Kajang dan desa Rimo, dalam pidatonya mengatakan “supaya gereja dan ditutup dan kegiatan agama Kristen dihentikan. Alasannya karena Aceh adalah daerah istimewa yang penduduknya mayoritas Islam. Daud Beure’eh sepertinya tidak mau jika suatu saat nanti para pemeluk Kristen dari berbagai daerah didatangkan dari luar. Ini bisa menghancurkan syari’at Islam di Aceh.
Tidak berhenti sampai disitu saja, tahun 1979 Singkil kembali didatangi oleh seorang Penginjil dari Gereja Tuhan Indonesia (GTI) Sumatera Utara untuk mendirikan gerejanya di Gunung Meriah. Kejadian ini, sempat menimbulkan kemarahan dari umat Islam dan memicu insiden dengan umat Kristiani.
Ikrar Bersama Menjaga Kerukunan Umat Beragama
Tanggal 11 Juli 1979 di Lipat Kajang, melalui sepucuk surat perjanjian yang ditandatangani secara bersama-sama oleh 8 Ulama perwakilan ummat Islam dan 8 pengurus gereja perwakilan umat Kristiani sepakat untuk tidak melaksanakan pendirian/rehab gereja sebelum mendapat izin dari pemerintah daerah tingkat II, hingga kemudian pada tanggal 13 Oktober 1979 dibuatlah ikrar bersama untuk menjaga kerukunan umat beragama dan mentaati perjanjian yang telah dibuat pertama kali (11/07/1979) tersebut. Ikrar bersama ini ditandatangani oleh 11 pemuka agama Kristen dan 11 pemuka agama Islam disaksikan serta ditandatangani oleh muspida Kab. Aceh Selatan (saat itu belum dimekarkan menjadi kabupaten Aceh Singkil –red), Kabupaten Dairi-Sumut dan juga disaksikan oleh unsur muspika Simpang Kanan.
Mereka Ingkar Janji
Walau perjanjian demi perjanjian terus dilakukan, namun pihak Kristiani tidak pernah mau memegang janjinya, hingga pada oktober 2011 kembali dibuat surat perjanjian terkait pembakaran salah satu gereja di kecamatan Suro yang sempat terjadi sebelumnya. Dengan difasilitasi oleh Muspika dan Muspida, maka dibuatlah dialog melalui hasil perjanjian, diantaranya, gereja di Aceh Singkil hanya boleh 1 unit, yaitu gereja Kuta Kerangan dengan ukuran 12x24 meter dan tidak bertingkat, undung-undung hanya boleh 4 unit, yaitu 1 unit di Gampong Keras, 1 unit di Gampong Napagaluh, 1 unit di Gampong Suka Makmur dan 1 lagi di Gampong Lae Gecih. Apabila terdapat gereja atau undung-undung selain yang tersebut diatas, harus dibongkar.
Kenyataannya, gereja dan undung-undung yang masuk daftar perjanjian itu tidak dibongkar, jangankan dibongkar malah diperbanyak (dibangun lagi yang baru) dan direhab. Dari data yang diperoleh SantriDayah, saat ini sudah hadir lebih dari 20 gereja di Singkil. Pembangunan gereja ini dilakukan secara sadar dan melanggar hukum dengan tidak melengkapi syarat, terang-terangan melawan pemerintah dan melanggar aturan yang berlaku, serta melecehkan ummat Islam dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama. Malah tidak mentaati peraturan yang sudah tertuang dalam Pergub nomor 25 tahun 2007, SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006, qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002, perjanjian lama 1979 serta perjanjian yang dibuat pada tahun 2001 dengan penuh perdamaian oleh tokoh-tokoh agama di Singkil. Pengurus gereja Petabas dicurigai telah melakukan aksi-aksi yang memancing kemarahan Muslim, satu-persatu jemaat gereja didatangkan dari luar (bukan penduduk asli –red). Artinya, keberadaan gereja tidak memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, melainkan lebih kepada provokasi. Padahal pemerintah dan tokoh agama telah bersusah payah menjaga kerukunan umat beragama di Aceh Singkil.
Kronologis Awal Penyegelan Gereja Aceh Singkil
Pada hari selasa tanggal 20 september 2011 beberapa ormas Islam di Singkil mendatangi pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui Asisten 1 Drs. Azmi guna merekomendasikan agar gereja dan undung-undung (sejenis gereja kecil –red) yang sekarang semakin banyak berdiri dengan status illegal serta yang tidak memiliki IMB (izin mendirikan bangunan) supaya ditertibkan, guna mengantisipasi kejadian tahun 33 tahun silam (1979). Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui asisten 1 Drs. Azmi merespon apa yang telah disampaikan dan direkomendaskan sehingga pada hari selasa, 27 september 2011 diadakan rapat Muspida Plus, Ormas, tokoh masyarakat, agama dan LSM yang ada di Kabupaten Aceh Singkil. Melalui hasil rapat tersebut dibuat satu kesimpulan.
Kesimpulan tersebut antara lain,
pemerintah Kabupaten Aceh Singkil akan meng-inventarisir jumlah sesungguhnya gereja dan undung-undung, bagi gereja/undung-undung yang dibangun dan tidak sesuai SKB 2 Menteri nomor 9/8 tahun 2006 dan Pergub Aceh nomor 25 tahun 2007 serta qanun Aceh Singkil nomor 7 tahun 2002 merupakan suatu perbuatan melanggar hukum. Pemerintah akan melakukan tindakan penertiban terhadap keberadaan bangunan gereja dan undung-undung yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua front pembela Islam (FPI) Aceh Singkil kepada SantriDayah menjelaskan bahwa hasil rapat tersebut tidak menghasilkan tindakan apapun dari Pemda Aceh Singkil dilapangan sehingga berjalan lima bulan kemudian dari hasil rapat Muspida Plus serta para ormas, tokoh agama, masyarakat, LSM tepat pada hari rabu (29/03/12) panitia pembangunan gereja di Gampong Pertabas Simpang Kanan masih tetap melanjutkan pembangunan gereja. Ormas yang sudah siap dan muspida langsung melakukan investigasi kelapangan. Apa yang terlihat, para pekerja pembangunan gereja Pertabas tidak sedikitpun menghiraukan kedatangan Muspida Aceh Singkil, pada hari tersebut pembangunan gereja masih saja terus dilanjutkan, terjadilah dialog yang dimulai dari Waka Polres Aceh Singkil dilanjutkan dengan pembacaan hasil kesepakatan oleh Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI dan terjadilah debat panjang tanpa membuahkan hasil. “Kami menilai kedatangan pemda Aceh Singkil kelapangan sekedar melepas kebosanannya di ruang kerja dan refreshing”, ujar Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang biasanya akrab disapa Ustad Hambali kepada SantriDayah minggu lalu.
Aksi Damai Tanpa Anarkis
Waktu terus berjalan, hingga pada 30 April 2012 atas nama Forum Umat Islam Aceh Singkil mendatangi kantor Bupati mengadakan aksi damai tanpa anarkis guna menyampaikan kepada Pemda setempat tentang banyaknya bangunan gereja liar tanpa adanya IMB dengan jumlah 27 unit dan tersebar di 7 kecamatan dalam Kabupaten Aceh Singkil, setelah kurang lebih satu jam melakukan orasi maka peserta aksi damai diminta untuk berkumpul di offrom kantor bupati mengadakan dialog agar bisa mewakili peserta aksi damai. Dari hasil pertemuan itu kapolres yang langsung memimpin rapat menegaskan supaya persoalan ini segera diselesaikan dan intisari rapat menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa seluruh gereja yang tidak memiliki izin diminta untuk dibongkar oleh umat Kristen itu sendiri.
Gayung Bersambut
Pada tanggal 1 Mei 2012 tim penertiban yang dibentuk oleh Pemda Aceh Singkil turun kelokasi untuk menyegel lima unit gereja, hari kedua tim penertiban tidak turun karena ada acara HARDIKNAS, hanya saja pada hari tersebut beberapa pendeta datang ke kantor bupati dan diadakan pertemuan dengan unsur muspida/plus, Kapolres dan Kasdim Aceh Singkil serta MPU. Dalam pertemuan tersebut disampaikanlah tanggapan dari pendeta-pendeta antara lain mengenai perjanjian 1979 dan 2001 yang diakui, akan tetapi pendeta tersebut meminta dari umat Islam untuk toleransi lagi tentang penambahan pembangunan gereja di Singkil, padahal pada tahun 2001 sudah diberikan toleransi 4 buah Undung-undung.
Disamping itu, pendeta yang ikut hadir dalam pertemuan itu menilai bahwa perjanjian tahun 2001 bersifat dibawah tekanan, tidak murni hasil musyawarah, GKPPD (Gereja Protestan Pakpak Dairi) adalah gereja yang berbasis budaya dan tersebar di Sumatera, Aceh bahkan Jawa, dalam artian telah menyebar ke seluruh Indonesia, kalau diadakan pemaksaan dan dan peruntuhan ini bisa berakibat lain, bukan menyelesaikan masalah melainkan menambah masalah.
Jika jemaat Kristen bertahan, dan aparat datang merobohkan gereja, ini bukanlah seperti di Ambon, tolong dipikirkan baik-baik kalau memang ini harga mati, ujar salah-satu tokoh masyarakat Aceh Singkil menanggapi alasan pendeta yang menilai miring perjanjian tahun 2001 tersebut. Pada tanggal 03 Mei 2012 tim penertiban kembali bergerak, hingga kemudian berhasil menyegel 13 gereja. Selanjutnya 08 Mei 2012 juga turun ke lapangan dan berhasil menyegel 2 gereja. Proses ini sudah berjalan 2 bulan 10 hari, belum ada hasil yang didapat tentang bangunan gereja liar, segel yang dipasang oleh tim penertiban bentukan Bupati Aceh Singkil sebagian besar bahkan dicabut dan gereja/undung-undung kembali ditempati seperti semula.
Masalahnya semakin kompleks, hingga ummat Islam di bumi Abdurrauf Assingkili tidak bisa berbuat apa-apa. Berbagai upaya telah dicoba guna menjaga aqidah Islam secara utuh, bahkan beberapa informasi yang berhasil diperoleh SantriDayah saat itu menyebutkan bahwa ada beberapa Muallaf yang sudah merasakan kedamaian dengan memilih Islam sebagai jalan hidup murtad kembali, karena tidak adanya perlindungan dan pengajaran yang memadai. Pemerintah Aceh Singkil seharusnya berpikir panjang, mendirikan berbagai benteng pertahanan terhadap aqidah Islam rakyatnya, bukan malah membuka jalan bagi Kristen untuk memurtadkan satu-persatu Muslim didaerahnya. [mia]
Meluasnya Wahana Perpecahan
Bak bara dalam sekam, dimana Umat Islam diseluruh Aceh menganggap Aceh Singkil aman-aman saja, padahal kejadian demi kejadian terus terjadi.
Beredarnya Buku dan Selebaran Gelap
Pertengahan juni 2012 Bumi Syekh Abdurrauf digemparkan oleh tersebarnya buku-buku yang menghina umat Islam, buku-buku yang berjumlah ribuan eksemplar itu diletakkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab ke rumah ibadah kaum Muslim seperti masjid-masjid, mushalla-mushalla dan di jalan-jalan, buku itu memuat pelecehan terhadap tatacara Islam melakukan ibadah, termasuk menghina ajaran Rasulullah SAW dan mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang Rasul Allah. Tidak hanya buku, selebaran-selebaran yang menebarkan kebencian dan memancing konflik horizontal antar umat beragama pun ditemukan. Diduga dalang dibalik kejadian ini dibuat oleh Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi, Sidikalang.
Informasi yang diperoleh SantriDayah dari ketua FPI Aceh Singkil Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI menguatkan dugaan bahwa benar dibalik kejadian ini GKPPD lah yang harus bertanggungjawab. Sehubungan dengan surat pengaduan dengan nomor 99/PD/DPW-FPI/SY/1433 yang pernah dilayangkan kepada Kapolres Aceh Singkil tentang adanya selebaran dari GKPPD Sidikalang dan buku tanpa penerbit yang memuat penodaan terhadap agama Islam. Umat Islam di Singkil ditakutkan akan mengalami nasib yang sama dengan yang pernah terjadi di Bengkulu, dimana setiap bulan haji, mereka selalu mendapatkan buku panduan manasik haji palsu yang dibuat oleh kaum Kristiani dan disebarkan ke kaum muslimin.
Kristen Dilindung, Islam Dibendung
Selang satu hari setelah surat itu dikirimkan, Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI yang merupakan ketua FPI Aceh Singkil dipanggil oleh Kapolres Aceh Singkil melalui Kasat Reskrim AKP. Ibrahim, SH untuk dimintai keterangan klarifikasi selebaran copyan pemberitahuan yang di duga dari gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi. Pada tanggal 16 Juli 2012 di rumah makan Embun Pagi, Gampong Lae Butar Gunung Meriah Kapolda Aceh mengadakan pertemuan dengan masyarakat Aceh Singkil, lebih kurang dari pertemuan itu didominasi oleh umat Kristiani Aceh Singkil. Ketika dari pengurus FPI datang ketempat itu, satu hal yang aneh terjadi, pihak Islam diawasi dengan ketat, sampai ditanya siapa yang mengundang mereka. Mukaribin Pohan (wakil ketua bagian jihad FPI) juga sempat mendapat teguran dari Polsek Gunung Meriah, dengan pernyataan yang lebih kurang “kamu jangan macam-macam, nanti kutangkap dan kumasukkan ke penjara, kamu tidak ada undangan”. Ketika tanya jawab dimulai, beberapa peserta dari ummat Kristiani tampil memaparkan pembicaraan, namun disaat tokoh agama Islam, wakil ketua DPRK dan MAA Aceh Singkil mengajukan pertanyaan kepada Kapolda, kesempatan itu tak pernah diberikan.
Lima Rekomendasi “GILA” Komnas HAM
Diskriminatif, tidak adil, terlalu mensekulerkan, begitulah sekelumit kata yang timbul ketika melihat peran Komnas HAM di Indonesia dalam merancang undang-undang kebebasan beragama, misinya hanya satu, ya menghancurkan Islam dengan cara mereka, rekomendasi yang meresahkan muslim itu dikeluarkan di Jakarta tanggal 07 Maret 2012.
Rekomendasi yang menyoal UU no.1 PNPS tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama. Menurut Komnas Ham, setiap orang bebas sepenuhnya memilih atau tidak memilih agama dan siapapun tidak memiliki kewenangan untuk melarang warga negara meyakini satu agama atau kepercayaan, sekalipun agama dan kepercayaan itu dianggap sesat menyesatkan oleh sekelompok agama tertentu. Rekomendasi aneh ini akan merugikan Islam, dimana para pengacak dan perusak agama bisa tumbuh berkembang kapan saja. Sebagai contoh, suburnya akidah-akidah sesat seperti Ahmadiyah, Lia eden, Ahmad Musaddik dan kelompok-kelompok sesat lainnya.
Tidak sah nya pernikahan beda agama seperti yang diatur dalam UU no.1 tahun 1974 harus dihapus. Dalam poin ini, Komnas Ham menunjukkan pada perbedaan agama, lesbian, homoseksual dan lainnya yang dianggap sebagai bagian dari HAM dan harus juga di akomodasi dengan mengubah syarat-syarat perkawinan dalam peraturan perundang-undangan sebagai bentuk dari harmonisasi RUU tentang kebebasan beragama. Dengan usulan seperti itu, menunjukkan bahwa Komnas Ham telah memporak-porandakan sendi-sendi dasar ideologi kesakralan manusia beragama ketika berbicara mengenai agama dan ketuhanan.
Selanjutnya rekomendasi itu juga mempersoalkan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri no.8/9 tahun 2006 (SKB 2 Menteri) Menurut Komnas Ham SKB 2 Menteri itu menghambat kebebasan mendirikan rumah ibadah khususnya gereja. Rekomendasi ini menurut logika sangat sulit diterima, diatur pendiriannya saja masih menimbulkan konflik, apalagi membiarkannya. Sebagai contoh, di Australia, Eropa dan Amerika yang juga memuat untuk pendirian rumah ibadah, umat Islam tidak leluasa mendirikan masjid dan mushalla, bahkan kalau pun bisa mendirikan, tapi adzan tetap diperhitungkan, tidak boleh menggunakan pengeras suara.
Rekomendasi Komnas Ham tersebut juga menginginkan UU No 20 tahun 2003 tentang pendidikan yang mengharuskan murid (peserta didik –red) mendapatkan pelajaran agama dari guru agama yang beragama sama dengannya harus dihapus. Keinginan Komnas Ham ini bermaksud untuk memberikan kurikulum baru, dimana setiap murid harus mengikuti pelajaran dari agama manapun, walaupun murid itu tidak menganut agama yang sama dengan pelajaran agama yang diajarkan oleh gurunya. Sebagai contoh kecil, murid yang beragama Islam diajarkan mata pelajaran agama Kristen. Dan yang terakhir, Rekomendasi Komnas Ham itu ingin menghapus agama dalam atribut kependudukan termasuk dalam KTP dan KK. Mereka menolak aturan yang telah diatur dalam UU no.23 tahun 2006.
TV Nasional Bermain Mata Dengan Pihak Asing
Luar biasa, propaganda demi propaganda senantiasa dilakukan, tak jarang stasiun TV Nasional pun ikut berupaya membangunkan pihak asing yang sedang tidur melalui programnya. Data-data yang didapat tim SantriDayah dari ketua FPI Singkil menyatakan bahwa pada kamis malam, tanggal 19 Juli 2012 WIB pihak Metro TV menayangkan sebuah program yang mengangkat tema “Menanti Solusi Damai untuk Minoritas”. Isinya menyangkut penyegelan sejumlah gereja dan kebebasan beragama di Aceh Singkil. Saat peliputan materi tersebut, reporter Metro TV bernama Monique yang datang dari Jakarta memilih pendeta sebagai pendamping dan penunjuk jalan. Padahal di Aceh Singkil terdapat rekan wartawan Metro TV yang tentunya lebih paham mengenai sumber materi berita. Sikap reporter Jakarta tersebut dinilai melanggar kode etik jurnalis, karena tidak menunjukkan netralitas dalam peliputan berita. Keberadaan pendeta Erde Berutu sebagai penunjuk jalan tim Metro TV dari Jakarta hamper memicu keributan saat Mounique hendak melakukan wawancara dengan Ketua FPI lantaran si reporter Metro Tv itu dinilai tidak netral oleh warga Muslim yang berada dilokasi tersebut.
Penayangan gambar pintu gereja Misili Injili Indonesia (GMII) Desa Mandumpang Kecamatan Suro, gereja katolik gampong Napa Galuh Danau Paris Kabupaten Aceh Singkil yang digembok dinilai tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sebab tidak ada satu gereja pun yang disegel dengan gembok oleh pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil hanya memasang papan segel yang memuat larangan membangun rumah ibadah tanpa izin sesuai peraturan SKB 2 Meteri No.8 dan 9 tahun 2006, Pergub Aceh No.25 tahun 2007 dan qanun Aceh Singkil no.7 tahun 2007. Pemerintah Aceh Singkil tidak pernah melakukan penutupan rumah ibadah gereja.
Cerita lain yang dibangun dalam tayangan program “Inside!” tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa gereja-gereja yang disegel tidak dapat digunakan untuk beribadah, padahal faktanya hingga hari ini umat Kristen di Aceh Singkil masih tetap bisa menjalankan aktifitas beribadah di gereja-gereja yang di segel oleh pemerintah tanpa ada gangguan sedikitpun.
Narasumber yang ditayangkan dalam program Inside diwakili oleh pernyataan PJ. Bupati Aceh Singkil dan ditutup oleh pernyataan Ketua DPRK Aceh Singkil. Namun cerita/gambar tayangan dalam program itu memuat kemarahan warga di Peunayong Banda Aceh dan aksi pembakaran gereja di Sibubuhan (Sumatera Utara) kejadian tahun 2010. Hal ini dinilai tidak tepat, sebab Narasumber yang dimuat adalah mewakili pejabat dan wakil rakyat di Aceh Singkil, penayangan pembakaran gereja di Sibubuhan tersebut dinilai sebagai upaya pembenaran terhadap opini yang selama ini berkembang di tingkat Nasional dan Internasional bahwa di Singkil telah terjadi perusakan dan pembakaran 20 gereja. Padahal hal tersebut sama sekali tidak benar.
Selanjutnya, sebahagian gambar rekaman video yang ditayangkan dalam program Inside tidak jelas sumbernya, diantaranya pada durasi 05 menit (pukul 23.09 wib) penayangan program tersebut menunjukkan bahwa sebagian rekaman video yang ditayangkan dalam program itu bukanlah hasil liputan wartawan Metro TV, sayangnya tayangan itu tidak memuat sumber video berasal, hal ini jelas melanggar kode etik jurnalistik. Narasumber yang ditampilkan tidak berimbang antara umat Kristen dan umat Islam sehingga informasinya pun tidak seimbang. Tgk. Hambalisyah Sinaga, S.PdI menambahkan, Metro TV pernah meminta keterangan dari pengurus Forum Umat Islam Aceh Singkil, namun tidak dimuat dalam pemberitaan. Ketika dikonfirmasi kepada Metro TV, kenapa keterangan FUI tidak dimuat, Monique menjawab dengan alas an tidak cukup waktu, selanjutnya sengaja diminta keterangan dari tokoh agama yang tidak tahu menahu tentang persoalan ini.
Kabupaten Aceh Singkil terdiri dari sebelas kecamatan, tinggal empat kecamatan lagi yang belum ada gereja. Rekapitulasi jumlah penduduk dari dinas kependudukan dan pencatatan sipil berdasarkan agama di kabupaten Aceh Singkil diketahui umat Islam 112.896 jiwa. Sedangkan Kristen 13.653 jiwa. Katolik 922 jiwa. Hindu 13 jiwa. Budha 15 jiwa dan lainnya 335 jiwa.
Menjamurnya Kristenisasi di Aceh
Penganut Kristen harus dan perlu dibedakan dalam tiga golongan: Pertama, penganut Kristen yang buta (tidak tahu dan tidak faham agama Kristen, tidak pernah membaca dan mempelajari Bibel, tidak pernah ke Gereja dan kalau ditanya tentang agama Kristen, mereka tak dapat menjawab secara argumenentatif. Kedua, penganut Kristen yang menjadi qissiis dan rahib (mendalami ajaran Kitab Suci Injil dan mengamalkannya –red), seperti yang diungkapkan al-Qur’an surah al-Maa-idah ayat 82-83, yang kalau terdengar oleh mereka penyampaian wahyu kepada Rasul Allah, mereka menangis dan menyatakan beriman kepada Allah. Dan yang Ketiga, penganut Kristen seperti yang diungkapkan Allah di dalam al-Qur’an (Al-Baqarah: 120) bahwa Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam sehingga umat Islam mengikut agama mereka.
Yang berbahaya bagi umat Islam ialah penganut Kristen golongan terakhir ini. Golongan ketiga inilah yang secara gigih berupaya memurtadkan (mengkristenkan) umat Islam, yang dalam perkembangan selanjutnya dikatakan kristenisasi. Upaya ini telah berlangsung sejak lama, termasuk di Indonesia. Hanya di Indonesia, ketika Orde Baru jaya, banyak pejabat negeri ini tidak percaya bahwa kristenisasi besar-besaran telah dan sedang terjadi di Indonesia. Tetapi setelah dikeluarkan buku Fakta dan Data tentang kristenisasi di Indonesia oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, banyak yang terperangah dan yakin bahwa pihak misionaris zending (misi penyebaran agama Kristen –red) telah bekerja keras siang-malam untuk mengkristenkan umat Islam secara khusus. Ironisnya, pada Orde Reformasi di Indonesia, upaya kristenisasi itu semakin berani dan terbuka bahkan keji. Mereka menggunakan Al-Qur`an dan Hadits dengan pengertiannya yang sengaja diputarbalikkan untuk membenarkan ajaran sesat mereka, dan sekaligus untuk mengelabui umat Islam, agar sudi masuk Kristen. Berbagai trik halus mereka lakukan, di antaranya bergerilya dengan kedok “dakwah ukhuwwah” dan “shirathal mustaqim” secara gencar dan tersembunyi. Gerakan ini dikoordinasi oleh Yayasan NEHEMIA yang dipelopori Dr Suadi Ben Abraham, Kholil Dinata dan Drs. Poernama Winangun alias H. Amos.
Bermula dari semenjak musibah tsunami yang menerpa Aceh pada akhir 2004, serangan mulai datang dari berbagai Negara Barat, serangan yang dimaksud adalah Kristenisasi, ini diawali dengan banyaknya bantuan dari donatur luar yang dengan sengaja ingin menyampaikan misi lain. Pihak missionaris sudah sejak lama ingin menginjakkan kakinya di Aceh. Tahun 1984 sempat datang pendeta dari Jerman akan mendirikan pusat pengembangan Kristen, namun ditolak. Pada 1994 utusan dari kepausan datang ke Aceh. Mereka merayu 24 anak untuk masuk Kristen. Tapi dua bulan di Aceh, dia tidak sanggup melaksanakan tugasnya.
Misi Barat
Berita yang dikutip SantriDayah dari harian The Washington Post yang pernah terbit pada 13 Januari 2005 memuat berita yang menggelikan. Evangelis terkenal Jerry Falwell yang berteman dekat dengan Presiden W Bush mengatakan, “Rakyat di kawasan itu (Aceh) belum pernah mendengar nama Jesus disebut, jadi tak ada salahnya misionaris menyebarkan ajaran Bible sambil membawa bantuan kemanusiaan”. Kemudian pada berita yang lain terdapat kalimat, "Anak-anak ini tidak punya rumah, miskin, trauma, yatim piatu, tiada tempat untuk tinggal, tempat tidur dan tidak makan. Jika kita bisa menempatkan mereka di rumah anak-anak Kristen, iman mereka di dalam Kristus bisa menjadi pijakan untuk menjangkau rakyat Aceh.”
Lebih dari 70 LSM dari Vatikan sempat didaratkan oleh dubesnya sendiri masuk ke pedalaman garis pantai Aceh Barat siap mendirikan sekolah-sekolah. Truk-truk logistik World Vision beroda 12 merajai jalan-jalan Banda Aceh kala itu.
0 Response to "Sejarah Kristenisasi di Singkil yang Berujung Pembakaran Gereja Ilegal"
Post a Comment