Singkil Kota Tua yang Menjadi Kenangan


Sejarah - dalam beberapa hari ini, pascabentok dua kelompok massa telah menjadi perhatian dari berbagai penjuru dunia. Semua tertuju ke negeri ini, negeri Hamzah Fansuri, seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup di abad ke-16.
Bagaimana sejarah Singkil bermula? sebuah buku berjudul Sejarah "Singkil Dalam Konstelasi Sejarah Aceh" yang ditulis Sadri Ondang Jaya mengupas asai mula kabupaten ini yang konon telah ada sejak zaman Nabi Sulaiman a.s.
Seperti ditulis di buku yang diterbitkan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, di kalangan masyarat Aceh Singkil, berkembang cerita bahwa Singkil telah ada sejak masa Nabi Sulaiman As.
Lokasi Singkil ini disinyalir berada di daerah antara Gelombang dan Kuala Kepang, Sultan Daulat, sekarang masuk dalam wilayah Pemerintah Kota Sibulussalam.
Akibat terjadinya berbagai peristiwa alam, Kuala Kepang dan Gelombang, sekarang posisinya telah berada di hulu Sungai Singkil. Apakah cerita ini sebuah lelucon atau fakta? Dan sejauh mana kebenarannya, agaknya sulit untuk dibuktikan. Karena belum ada referensi dan situs sejarah yang autentik tentang hal ini, hanya riwayar-riwayat dari mulut ke mulut di seputar masyarakat.
Ada juga nukilan sejarah yang mengatakan, bahwa Singkil telah ada pada zaman Batu Tengah (Mesolitikum) atau paling tidak sejak zaman batu baru (neolitikum + 5000-2000 SM).
Tetapi yang jelas, berdasar buktikan sejarah, Singkil yang dulu, bukanlah Singkil yang sekarang. Singkil yang dulu, telah lama hilang, tenggelam, disapu gelombang. Nun, jauh di tengah lautan.
Secara geografis, Singkil lama itu, terletak di arah Barat Kota Singkil sekarang. Nelayan sering menyebutnya dengan Ujung Sigambung atau Berok.
Kota Singkil ini, pertama kali dibangun oleh raja-raja Singkil, sekitar pertengahan abad ke- 7 hingga abad ke-19. Di Kota Singkil pertama ini, terdapat bandar yang sangat terkenal dan tersibuk di pantai Barat Aceh.
Pelabuhan ini ramai disinggahi kapal-kapal asing dari Asia, Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika. Juga tidak ketinggalan kapal-kapal dari Tiku, Pariman, dan kapal dari belahan Timur Indonesia.
Di Kota Singkil ini juga, telah tersedia berbagai fasilitas yang lumayan lengkap. Seperti, pasar, rumah controleur, pendapa, kantor keuangan, kantor duane dan pelabuhan, serta rumah sakit. Tentu terdapat juga, istana raja dan perumahan penduduk.
Penduduk Kota Singkil ketika itu, hanya berjumlah 2.104 orang. Terdiri dari 6 orang Eropa, 55 orang Cina, 183 orang Arab dan selebihnya penduduk setempat dari berbagai etnis dan kelompok suku bangsa (Fajri Alihar, 20002:hal 27). Di sana terdapat kebun lada, nilam, dan tanaman komoditi ekspor lainnya.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih, pada tanggal 12 Februari 1861 Kota Singkil ini digoyang gempa tektonik yang sanggat dasyat dan dibarengi pula dengan geloro laut atau yang dikenal sekarang dengan sebutan tsunami. (E.B. Kielstra, 1892). Kota Singkil hancur berantakkan dan tenggelam disapu gelombang, yang tinggal hanya puing-puing bangunan.
Peristiwa gempa dan tsunami ini dinukilkan oleh Moehammad Saleh dalam buku outobiografinya, Riwajat Hidoep dan Perasaian Saja, yang ditulisnya pada tahun 1965. Dalam buku itu Saleh mengatakan, hingga pertengahan abad ke-19, kota Singkil masih menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Aceh.
Sekitar awal tahun 1861, Saleh berlayar ke Singkil untuk berdagang. Dalam melakukan aktifitas dagangannya itu, Saleh menginap beberapa hari di Singkil, di sebuah penginapan yang tidak jauh dari pelabuhan.
Setelah urusan dagang selesai, lalu Saleh kembali berlayar ke Pariaman. ”Belum lama saya di Pariaman, sekembali dari Singkil, pecah kabar bahwa pasar Singkil terbenam karena diterpa geloro (naiknya air laut atau semacam tsunami) yang disertai gempa bumi,” tulis Saleh.
Gempa dan geloro itu disebut Saleh, telah menenggelamkan Karang Gosong Jawijawi yang berada di dekat Singkil. ”Bukan hanya Pasar Singkil yang tandas, kebun kelapa, kebun lada, perkuburan pun disapu licin oleh air bah. Banyak orang mengungsi, melarikan badan ke bagian selatan Singkil,” ucap saleh.
Berkaitan dengan Kota Kerajaan Singkil yang telah tenggelam. Dalam masyarakat nelayan ada cerita: kalau air laut sedang musim pasang surut, mereka sering menyaksikan puing-puing bekas reruntuhan rumah penduduk. Selain itu, tatkala, mereka menjaring ikan acap mendapat   peralatan rumah tangga, tersangkut dijaring.
Dulu ada orang yang sengaja datang ke Berok untuk “berburu” harta karun. Harta karun itu nampak tersimpan dalam peti. Begitu petinya mau dibuka, para pemburu harta karun tidak sanggup membukanya.
Lantas diambil perlengkapan atau alat yang lebih memadai. Begitu mata berpaling, peti pun lenyap dari padangan mata, raib begitu saja. Entah kemana.
Ada lagi kisah misterius. Suatu hari, nelayan dari Gosong Telaga, menemukan kawanan ikan begitu banyak bermain-main, hilir mudik di seputar Berok. Lantas untuk mendapatkan ikan ini, nelayan menebar jaring.
Setelah mengendapkan jaring beberapa lama dalam lautan, mereka  bergendang-gendang agar ikan cepat menuju atau melanda atau menyangkut di jaring. Setelah itu, jaring pun diangkat kembali.
Begitu jaring naik,  tiba-tiba, bagian kaki (kaja batu)  jaring yang ditebar  tidak bisa diangkat lagi, telah tersangkut pada suatu benda di dasar laut. Kemudian pawang  pun turun ke laut, menyelam untuk menyelamat jaring.
Saat menyelam itulah, sang pawang kaget. Ia melihat dan  menemukan begitu banyak puing-puing bangunan yang terpancang dan berserakan di permukaan tanah dasar laut.
Sebenarnya, dari cerita ini, bisa dilakukan penelitian arkeologi yang lebih mendalam. Untuk membuktikan, apakah Kota Singkil tergolong kota yang tertua di Indonesia, paling tidak di Aceh? Dan akan terungkap pula  fakta otentik, tentang kehebatan Singkil masa lalu. Kalau dari literatur yang ada kemudian didukung oleh fakta dari penelitian ini. Layaklah Singkil ini  diberi julukan, kota yang hilang atau kota yang tenggelam.
Karena kota Singkil sudah tenggelam, masyarakat Singkil eksodus atau mengungsi. Mereka pindah ke bagian Selatan Singkil yang lokasinya agak menjorok ke darat.
Terletak  berseberangan dengan Kota Singkil sekarang, lazim disebut Pasi Tangah. Di situlah mereka membangun pemukiman. Pemukiman ini disebut masyarakat Singkil Kedua atau Singkil Lama. Kota  ditata dan rumah-rumah penduduk pun dibangun. Fasilitas lain pun diselesaikan. Sehingga Singkil kembali menjadi kota idaman.
Namun, sekitar kurang dari 20 tahun tinggal di Singkil atau Singkil Lama dijadikan pemukiman. Hari Jumat tahun 1890, kembali Allah SWT menunjukkan kekuasaannya, memberi cobaan kepada manusia. Singkil lagi-lagi dilanda bencana. Air bah datang dari hulu sungai  menerjang muara. Akibatnya, di perairan Sungai Singkil terbentuk delta-delta.
Kawasan sungai dan Muara Singkil menjadi dangkal, sehingga menyulitkan kapal untuk berlabuh. Kalau kapal sulit berlabuh, dengan sendirinya bongkar muat barang menjadi repot.
Suasana yang demikian membuat perdagangan tidak lancar dan perniagaan memerlukan biaya yang besar. Akhirnya, pada tahun 1900, pemerintah Belanda memindahkan  Kota Singkil ke lokasi Singkil sekarang atau disebut dengan Singkil Baru (New Singkil/Pondok Barö), lebih kurang  tujuh kilo meter ke arah Timur Laut.
Kepindahan ini, diikuti pula oleh masyarakat Singkil. Di tempat yang baru ini, penduduk Singkil memulai menata kehidupan. Kembali membangun perumahan dan fasilitas infrastruktur lainnya.
Di tengah kesibukan menata kehidupan, rakyat Singkil dihadapkan kepada tantangan baru berupa invasi penjajahan Belanda. Hubungan Singkil dengan Belanda yang semula hubungan dagang, tiba-tiba beralih menjadi konflik atau pergolakkan bersejata alias perang.
Seorang kontrolir yang bernama Inggram dikirim ke Singkil. Lantas Inggram bersama jajarannya, melancarkan taktik dan siasat untuk menguasai  Singkil.
Hasil bumi Singkil mereka kuras dengan jalan kekerasan di bawah kepulan asap mesiu. Peperangan pun tidak terelakkan. Dari sini, peperangan terus berlanjut hingga berpuluh tahun lamanya.
Tanah Singkil, tidak pernah kering dari tetesan darah anak bangsa untuk memperjuang sebuah kebebasan dan mengangkat harga diri supaya jangan diinjak oleh penjajah.
Akhirnya, pemerintah Belanda sedikit demi sedikit, secara terukur dan terencana menancapkan kuku hegemoni (penjajahannya) di Kota Singkil.
Hal ini terbukti dengan dibangunnya kantor-kantor pemerintah, rumah controleur, tangsi militer, rumah beacukai, dermaga, mercusuar, lapangan bola kaki, gedung sekolah, lokasi rumah penduduk, dan pengaturan jalan-jalan plus  rumah-rumah orang Eropa.
Rumah-rumah orang Eropa ini, sengaja dibangun dan ditata dengan apik dan indah. Bangunannya menghadap ke sebuah danau besar yang sumber airnya dari alur Sungai Singkil. Tetapi sekarang, bekas danau tersebut telah ditumbuhi berbagai tumbuhan rawa, seperti nipah, hutan mangrove,  eceng gondok, dan tumbuhan lainnya.
Pemerintah Hindia Belanda juga membangun rumah Datuk Besar Singkil atau Datuk Abdul Rauf, orangtua dari Datuk Murad. Rumah ini tergolong besar, terasnya dijadikan pendopo, tempat melakukan pertemuan-pertemuan. Karena besarnya rumah ini, orang Singkil menyebutnya dengan Rumah Gadang.
Di samping rumah gadang, dibangun pula sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid  Baiturrahim. Untuk memudahkan berwuduk, di depan masjid ini di bangun Belanda sebuah sumur bor.  
Sampai sekarang, meskipun sumur bor itu telah berusia ratusan tahun, dan telah dilakukan modifikasi, sumur bor masih berfungsi,  airnya lancar dan tetap jernih.
Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga membangun sekolah rakyat, kantor polisi,  kantor pos serta kantor telegram yang dapat menghubungkan Kota Singkil dengan berbagai kota lainnya di Indonesia.
Sebagian besar bangunan peninggalan Belanda tersebut,  tidak ada lagi atau tersisa di Kota Singkil. Hanya yang masih ada rumah Gadang. 
Rumah gadang itu  pun telah beberapa kali direhab dan renovasi sehingga konstruksinya telah berubah, tidak seperti semula. Sedangkan rumah controleur dan dermaga, lampu babeleng dan bangunan lainnya sudah dihancurkan termasuk bekas-bekas rumah orang Eropa diganti dengan bangunan kantor pemerintah.
Gedung pemerintah dan perumahan penduduk yang dibangun di era ini dan telah memusnahkan bangunan lama. Mengesankan telah mematikan dan menghilangkan jejak Kota Singkil sebagai kota tua, warisan sejarah. Tidak ada lagi tanda-tanda eksotis Singkil sebagai kota dengan penuh cerita dan gedung-gedung tua peninggalan masa dulu kala, termasuk zaman Belanda.
Penguasa Singkil ketika itu, sepertinya tidak terlalu peka dan peduli dengan aset dan situs sejarah. Padahal dengan aset dan situs sejarah ini bisa dijadikan iktibar dan  wahana belajar dan untuk mengaca diri.
Generasi muda Singkil sekarang dan masa mendatang, tidak akan pernah tahu kalau di jalan Syekh Abdurrauf dan jalan Jenderal A.Yani sekarang, ada kantor telegram dan kantor pos besar yang berkonstruksi dan bermotif gaya gedung Eropa. Di Pulo sarok, ada lampu babeleng, tangsi militer dan beberapa benteng yang gagah perkasa. Itu semua, telah lenyap dan musnah.
Juga, ada danau sebagai tempat berdayung sampan noni-noni Belanda sembari menatap bagau-bagau putih yang terbang berseleweran. Yang lebih penting lagi, danau ini dulu dijadikan multifungsi salah satunya sebagai kawasan serapan banjir. Tetapi, jejak itu hilang, tanpa ada yang peduli untuk melestarikannya.
Ketika Singkil menjadi daerah otonomi, berpisah dengan Aceh Selatan pada 27 April 1999, Kota Singkil terus dibangun sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhaninfrastruktur pemerintahan. Sejumlah sarana prasarana pendidikan dan perkantoran pemerintah pun didirikan.
Kota Singkil terus menyempit. Untuk mengatasi hal ini, Kota Singkil sebagai ibu kota kabupaten pun diperlebar hingga ke wilayah Gosong Telaga. Di Gosong Telaga inilah mulai banyak dibangun perumahan-perumahan penduduk dan perkantoran pemerintahan.
Tentang pertapakkan perkantoran di Gosong Telaga ini, tanahnya berasal dari hibah masyarakat Gosong Telaga, tanpa konvensasi, seluas 184 hektar lebih. Tanah yang dihibahkan ini semulanya  peladangan dan perkebunan masyarakat Gosong Telaga.
Dihibakannya tanah ini  demi sebuah pembangunan ibu kota kabupaten yang bakal dimekarkan. Kalaulah dulu tanah ini tidak diberikan,  kemungkinan besar Singkil akan gagal menjadi daerah otonom. Kalau pun menjadi daerah otonomi juga, ibu kotanya bukan Singkil. Tetapi akan dipindahkan ke Rimo, Gunung Meriah atau Simpang Kanan karena di sana tanah yang kosong masih sangat luas.
Namun disayangkan, pembangunan kantor pemerintah dan perumahan penduduk penataanya sangat tidak elok dipandang mata.  
Gedung-gedung dan infrastruktur pemerintah dibangun secara berderet sepanjang jalan dari Pulo Sarok hingga ke Kampung Baru yang jaraknya 20 kilo meter.
Sehingga perkantoran di Singkil, menjadi lokasi perkantoran terpanjang di dunia. Kalau ada yang berurusan karena ada keperluan, sangat menguras tenaga dan memerlukan waktu yang relatif  panjang. Kurang efisien dan efektif.
Pada saat terjadinya, gempa dan gelombang tsunami Aceh dan Nias 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005, permukaan tanah Singkil, menurut peneliti Danny Hilman dari Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengalami penurunan sekitar 0,5 meter hingga 1,5 meter. Sebanyak 3.500 rumah penduduk hancur dan infrastruktur pemerintah retak-retak, termasuk pendopo dan kantor Bupati Aceh Singkil.
Singkil tidak tenggelam seperti Kota Singkil sebelumnya. Namun, pusat administrasi pemerintahan selama setahun (2005-2006) sempat di pindahkan ke Gosong Telaga, Singkil Utara. Setelah perkantoran direhab, pusat administrasi dipindahkan kembali ke Kota Singkil. 

0 Response to "Singkil Kota Tua yang Menjadi Kenangan"

Post a Comment