TAHUN ini genap sudah 18 tahun Kabupaten Singkil berdiri. Kabupaten yang merupakan pemekaran Kabupaten Aceh Selatan berdasarkan UU No. 14 tahun 1999 yang disahkan pada 27 April 1999 oleh DPR RI reformasi ini masih cukup remaja dari segi umur. Namun, dari sisi pengelolaan daerah tingkat dua di era modern, kedewasaan seharusnya tumbuh cepat.
Masih lumut dalam bayangan ketika Singkil hanya merupakan kecamatan yang bergabung dengan Aceh Selatan yang kadang juga disentil sebagai Aceh Telatan (serba telat) karena begitu lambatnya proses pembangunan di daerah ini dibandingkan daerah lain di Aceh. Saat ini sejarah pembangunan menjadi kolam yang tinggal mengail di air nyata. Hal itu yang diharapkan mampu diwujudkan dengan pelibatan seluruh warga dari lintas generasi agar daerah yang berjuluk “Sekata Sepekat” mampu meuwujudkan cita-cita awal pembentukan Aceh Singkil yang ideal.
Seremoni tanpa makna
Ulang tahun Kabupaten Singkil seringkali dilakukan dengan agenda seriomonial belaka: membuat Stan-stan dinas, mendatangkan artis ternama, parade kesenian dan kebudayaan dengan bujet fantastis untuk menghanyutkan masyarakat dalam kesenangan sesaat.
Padahal HUT bisa digunakan untuk membedah visi, misi, program kabupaten dan pemerintahan yang sudah berjalan beberapa generasi. Bongkar pasang bupati melalui Pilkada tidak membuat Aceh Singkil bergerak lebih baik.
Contohnya, angka kemiskinan Aceh Singkil pada tahun 2015 menurut data Badan Pusat Statistik mencapai 21,72% atau kedua terburuk setelah Gayo Lues (21,95%). Padahal “daerah kembarnya”, Kota Subulussalam bisa berada di urutan kedelapan (20,39%). Kota Subulussalam adalah pemekaran dari Aceh Singkil. Sejumput angka ini telah menjadi indikator kekurang-berdayaan pemerintah Aceh Singkil meningkatkan kemajuan daerahnya melalui sumberdaya pembangunan daerah dan sumberdaya manusia yang semakin mandiri.
Belum lagi masalah lingkungan hidup. Wilayah Singkil meskipun “muda” telah semakin renta dalam mengelola perubahan iklim. Banjir dan buruknya kualitas air telah menjadi niscaya bagi Aceh Singkil karena alam bugarnya telah menjadi lahan perkebunan yang tidak ramah lingkungan. Sawit menjadi masalah utama, apalagi kepemilikan sawit di Singkil hanya dikuasai oleh para kartel besar termasuk oleh elite pemerintah daerah.
Tahun 2016 saja sedikitnya terjadi tiga kali banjir besar yang merusak infrastruktur dan pemukiman warga. Banjir bandang pada November tahun lalu misalnya telah menyebabkan masyarakat Aceh Singkil semakin miskin. Dalam banjir yang melarutkan air mata, masyarakat hanya bisa makan mie instan mentah karena tidak ada daratan dan peralatan untuk memasak makanan.
Demikian pula membumikan program kesejahteraan dan kesehatan masyarakat masih dalam perubahan slogan dalam kampanye. Visi cerdas, sehat dan sejahtera digaungkan dalam kampanye untuk membuat masyarakat tertarik dan menentukan pilihan di bilik suara, tapi tidak dijadikan kertas kerja yang konkret. Itu pula sebabnya dalam Pilkada serentak 2017 lalu petahana bupati mampu dikalahkan oleh petahana wakil bupati jika dihitung dari segi modal sejarah, sosial, dan finansial kalah segalanya.
Namun karena masyarakat mulai malas mendengar teriakan kampanye tanpa wujud konkret, sang petahana pun mampu dikalahkan dengan selisih suara 3.352. Dulmusrid, sang wakil yang terpilih menjadi bupati membuat sejarah baru, bak David mengalahkan Goliath. Ia bisa menjadi cahaya baru dalam pembangunan, putera Jawa kelahiran Aceh menjadi “raja” pertama dalam pemerintahan di Bumi Iskandar Muda.
Wajah baru semangat baru
Di tangan rejim baru yang akan segera berganti, wajah-wajah lama yang menjadi kunci dari pembangunan daerah di masa lalu seharusnya juga diakhiri. Kagagalan pemerintahan Singkil pada era lalu bukan semata kesalahan bupati, tapi juga lemahnya pimpinan SKPD dalam menerjamahkan visi dan misi pembangunan. Pembangunan masih berbau oligarkhi dan feodal belum membuat Aceh Singkil memiliki prestasi.
Membiasakan gaya kepemimpinan baru harus dilakukan agar wajah Singkil baru lebih ceria dan bertenaga. Mentalitas pejabat yang memperkaya diri dan membiarkan banyak “penumpang gelap” yang mendompleng anggaran menggerogoti APBK tidak lagi dibenarkan. Kunci maju mundurnya pembangunan sangat ditentukan dengan bagaimana melaksanakan tatakelola pemerintahan secara baik dan mencitrakan diri sebagai pemerintahan yang bersih (good governance dan clean government). Orang-orang yang berprestasi dan berdedikasi di Bumi Syech Abdurrauf As-Singkily sudah saatnya diberikan kesempatan oleh rejim baru menjadikan daerah ini bisa bersaing dengan daerah-daerah lain di Aceh.
Politik anggaran dan jemput bola ke pusat kiranya dapat dilakukan oleh pemerintahan baru ke depan. Mengandalkan hanya dari anggaran APBK dan Otsus tentu saja tidak mencukupi apalagi jika melihat defisit pembangunan yang masih kentara. Kita dapat melihat bagaimana di daerah-daerah lain di luar Aceh yang mampu berhasil dalam pembangunan adalah dengan giat menjaring anggaran APBN untuk menutupi “kekurangan” anggaran APBD untuk mempercantik daerahnya.
Penulis yakin, seperti warga Singkil yang mendambakan perubahan dapat terwujud di Kabupaten Aceh Singkil mampu mengatasi penyakit kemiskinan yang belum pernah sembuh dan sanggup mengajar ketertinggalan dari kabupaten/ kota di provinsi Aceh. Pak Dulmusrid yang telah memiliki pengalaman sebagai wakil bupati dengan gaya keramahan politiknya dapat merangkul seluruh masyarakat Singkil, apalagi sempat terkoyak oleh konflik bernuansa agama pada 2015 lalu bisa menyelamatkan Singkil dari karam permusuhan.
Semoga Dulmusrid bisa menjadi "KW Jokowi" untuk Aceh Singkil baru ke depan. Jangan lagi ada harapan dan alamat palsu dalam pembangunan. Jangan biarkan masyarakat tersesat di tengah jalan. Manusia Singkil harus berubah atau menjadi rubah di hutan belantara peradaban yang semakin punah.
Penulis
Rusli Jabat, aktivis lingkungan Aceh Singkil. Mantan Ketua Umum Himpunan Pelajar Mahasiswa Aceh Singkil (HIPMASIL) Banda Aceh, Periode 2007-2009.
0 Response to "Singkil, Berubah atau Menjadi Rubah"
Post a Comment