Pengantar :
Tanggal 18 Januari 2016 ini, adalah hari Haul almarhum Abuya Tengku Syekh H Zamzami Syam, mantan pimpinan Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil. Sehubungan haul tersebut, penulis dan wartawan aceHTrend, Sadri Ondang Jaya menulis rekam jejak dan kiprah abuya yang ditayangkan secara bersambung diacehtrend.
Tanggal 18 Januari 2016 ini, adalah hari Haul almarhum Abuya Tengku Syekh H Zamzami Syam, mantan pimpinan Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil. Sehubungan haul tersebut, penulis dan wartawan aceHTrend, Sadri Ondang Jaya menulis rekam jejak dan kiprah abuya yang ditayangkan secara bersambung diacehtrend.
***
MASYARAKAT Aceh Singkil khususnya, Aceh umumnya. Tidak ada yang tak kenal Abuya Syekh Tengku H Zamzami Syam. Sosok pria kelahiran tanggal 22 April 1923 ini, di penghujung tahun 1960-an, pernah melakukan reformasi atau perubahan besar dalam kancah pendidikan dan dakwah di Singkil.
Selama Abuya Syekh Tengku Zamzami Syam berada di Singkil, ia berdakwah dan mengajar jamaah dari masjid ke masjid, dari mushala ke mushala, termasuk ke lingkungan perkantoran.
Abuya juga mengajar santri dengan cara menggunakan bangku serta mewajibkan mereka belajar matematika, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan pengetahuan umum lainnya yang ketika itu, belum pernah diajarkan di pesantren-pesantren lain.
Yang lebih hebatnya, kendati usia Abuya Zamzami Syam telah senja, dia terus berdakwah, mengajar, dan belajar tanpa pernah penat dan lelah di lingkungan pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil yang didirikan sekaligus dipimpinnya.
Semangat berdakwah, mengajar, dan belajar ini muncul pada Abuya Syekh Tengku H. Zamzami Syam, karena beliau terlebih dahulu telah ditempa di lingkungan keluarganya yang terdidik, cinta pada pengetahuan, dan agamis. Apalagi, Abuya Zamzami Syam dibesarkan di lingkungan pesantren yang tradisi belajarnya sangat kuat dan ketat.
***
Ulama berpostur tinggi besar yang berkharisma ini, dilahirkan di Trieng Meudoro Baroh, sebuah kampung yang teramat subur. Secara administrasi pemerintahan, masuk dalam Kecamatan Sawang, Aceh Selatan.
Abuya Zamzami Syam merupakan bungsu dari tujuh orang bersaudara. Ayah bundanya bernama H. Muhammad Syam dan Hj. Saunah. Sebuah keluarga yang sangat disegani, dihormati, dan “dituakan” di Kampung Trieng Meudoro Baroh.
Orangtuanya memberi nama Zamzami, dimaksudkan agar ia kelak seperti air zamzam yang berhasil melepaskan dahaga Ismail dan Siti Hazar, tatkala mereka kehausan di Gurun Sahara. Air zamzam itu, sampai sekarang, tetap mengalir dan menjadi air minum, penyuci debu, dan noda. Bahkan, telah menjadi icon Kota Mekah.
Pendeknya, orangtunya mendoakan agar sosok Abuya Zamzami Syam kecil menjadi ulama yang selalu bisa mengajarkan umat saat “kehausan” pengetahuan agama. Kemudian ilmu pengetahuan itu, terus berkembang mengalir, dan menjadi amal zariyah.
Pendidikan Abuya Zamzami Syam
Dalam memenuhi harapan dan doa orangtuanya. Waktu kecil, Abuya Zamzami Syam telah menunjukkan gelagat seorang bocah yang cerdas, pintar, dan tekun belajar. Apalagi pelajaran ilmu pengetahuan agama.
Kemauan keras dalam belajar ini, beliau buktikan dengan giat dan tekun belajar di Trieng Meudoro Baroh, kampung halamannya. Selesai di situ, ia menuntut ilmu pula Ke Labuhan Haji. Belum cukup, beliau pun melanglang buana, menuntut ilmu agama tingkat tinggi ke Malalo, Padang Panjang, Sumatera Barat.
Karena kecerdasannya lantas Abuya Syekh H Zakaria Labay Sati pun memberikan pridiket al-mumtaz pada beliau. Artinya, santri yang lulus dengan nilai istimewa.
Hal ini, dibenarkan Abuya Syekh H Amran Waly al-Khalidy, saat menyampaikan tausyiah memperingati Haul ke-2 Abuya Syekh Zamzami Syam, Ahad 18 Januari 2015 di Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil.
Menurut Abuya Syekh H Amran Waly, Ketua Majelis Pengkajian Tauhid-Tasawuf Asia Tenggara, Abuya Zamzami Syam menuntut ilmu tidak saja di Aceh pada abangnya Tengku Abdullah Syam dan Abuya Syekh H. M Wali al-Khalidy. Tetapi juga, ke Sumatera Barat pada Abuya Syekh H Zakaria Labay Sati Malalo.
“Bahkan tahun 1999, saat Abuya Zamzami Syam berusia lanjut, beliau pernah berguru pada saya untuk mengambil ijazah mursyid dalam ilmu tarekat Naqsabandiah,” ucap Abuya Syekh Amran Waly.
***
Kendati hidup di era penjajahan, Abuya Zamzami Syam bersama beberapa orang temannya tidak larut dalam penderitaan. Mereka menyempatkan diri menuntut ilmu dasar-dasar Islam di kampungnya. Seperti, ilmu tauhid, fiqih, nahu, syaraf, dan ilmu bela diri.
Pengajian ini, dibimbing langsung oleh abang kandungnya, Tengku Abdullah Syam, seorang alumni pesantren atau dayah di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Setelah beberapa tahun belajar dengan Tengku Abdullah. Dan menganggap ilmu dasar keislaman telah dikuasai dan ciri-ciri orang alim telah melekat pada dirinya, Tengku Abdullah menyarankan agar adiknya memperdalam ilmu ke dayah Labuhan Haji yang ketika itu dipimpin oleh ulama kharismatik dan tersohor di Aceh bahkan di Nusantara, yaitu Abuya Syekh Muda Waly Al-Khalidy Al-Syafii.
“Bahkan tahun 1999, saat Abuya Zamzami Syam berusia lanjut, beliau pernah berguru pada saya untuk mengambil ijazah mursyid dalam ilmu tarekat Naqsabandiah,” ucap Abuya Syekh Amran Waly.
Setelah mendapat restu dari kedua orangtua, saudara-saudara dan sanak famili, saran abangnya Tengku Abdullah diwujudkan. Ia berangkat belajar atau mengaji ke Pesantren Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Di Labuhan Haji ini, Abuya Zamzami belajar langsung pada Abuya Syekh H Muda Waly Al-Khalidy Al-Syafii dan para guru lain selama lima tahun.
Selama berguru, Abuya terus mengukir prestasi, berbagai pengetahuan keislaman beliau dapatkan dan kuasai dengan baik. Ilmu-ilmu itu, terus merasuk dalam dirinya. Sehingga Abuya Zamzami Syam ketika itu, tergolong santri yang alim.
Bak kata pepatah, mempelajari ilmu ibarat meminum air laut. Karena air laut itu asin, maka begitu diminum, kehausan pun semakin terasa. Artinya, kalau ilmu semakin banyak dituntut, maka diri semakin terasa kekurangan ilmu tersebut.
Sehingga muncul keinginan dan minat menimbah ilmu terus menerus, tanpa batas. Perumpamaan itu agaknya merasuk pada diri Abuya Zamzami Syam.
Tak tanggung-tanggung, pasca berguru di Labuhan Haji, Abuya Zamzami Syam menuntut ilmu ke tanah seberang, Ranah Minang, Sumatera Barat. Beliau berguru pada seorang ulama ahli ushul fiq dan mantiq, Syekh H. Zakaria Labay Sati (1908-1973) di Perguruan Tarbiyah Islamiyah (PTI) Malalo, Padang Panjang, Sumatera Barat.
Dengan penguasaan ilmu bahasa Arab, hafalan Al-Quran, dan pengetahuan lainnya, Zamzami Syam berhasil menamatkan pendidikan pada tingkat Bustanul Muhaqqiqin di PTI Malalo, Padang Panjang.
Karena kecerdasannya lantas Abuya Syekh H Zakaria Labay Sati pun memberikan pridiket al-mumtaz pada beliau. Artinya, santri yang lulus dengan nilai istimewa.
Karena kemampuannya itu, Abuya Zamzami Syam diangkat menjadi asisten guru. Pengangkatan sebagai asisten guru, membuat kepulangannya ke Aceh tertunda. Padahal, sudah lebih lima tahun ia bermukim di Sumatera Barat. Sudah lama berencana ingin pulang ke Aceh. Untuk “mengobati” rasa rindu dengan orangtua dan sanak familinya.
Karena “kepercayaan” menjadi asisten guru, tak ayal Abuya pun bermukim selama lebih kurang 10 tahun lagi di Perguruan Malalo, Padang Panjang, Sumatera Barat. Selama satu dasawarsa itu pulalah beliau mengajar sembari memanfaatkan untuk memperdalam berbagai ilmu pengetahuan di almamaternya.
Kiprah Abuya Teungku Syeikh H Zamzami Syam di Singkil
Di tahun 1950-an, Zamzami Syam pulang kembali ke Trieng Meudoro Baroh, kampung halamannya. Kepulangannya ini, sangat diharapkan oleh orangtua dan sanak famili. Juga didambahkan warga Trieng Meundoro Baroh dan masyarakat Aceh Selatan umumnya.
Harapan ini dimaksudkan, agar abuya, bisa mengajarkan ilmu pengetahuan agama yang telah didapatkan selama berpuluh tahun di rantau kepada masyarakat Aceh Selatan. Karena ketika itu, terbetik kabar, bahwa saat beliau belajar dan mengajar di PTI Malalo, ia tergolong sosok santri yang piawai dalam berceramah dan berdebat soal agama.
Bak gayung bersambut. Tidak lama Abuya Zamzami Syam menetap di kampung, ia diajak mengajar di Pawoh Labuhan Haji di Pesantren Darul Ihsan oleh Abuya Syekh H. Zakaria Labay Sati yang tak lain gurunya ketika di Padang Panjang. Kedatangan gurunya ini ke Aceh hampir bersamaan dengan kepulangan beliau ke Trieng Meudoro.
Nama ulama besar Aceh ini ditambalkan pada nama pesantren ini, dimaksudkan agar santri yang belajar memiliki akhlak, ilmu, harkat, dan martabat, seperti layaknya sosok Abdurauf al-Singkili.
Konon, kedatangan Abuya Syekh H. Zakaria Labay Sati ke Labuhan Haji, ingin mendiskusikan berbagai persoalan keislaman dengan Abuya Syekh H Muda Waly al-Khalidy.
Di Pawoh, di samping mengajar santri, Abuya Zamzami Syam memperdalam ilmunya pada Abuya Syekh H Muda Waly al-Khalidy, sekaligus mengambil ajaran tarekat Nagsabandiyah.
Setelah mengajar dan memperdalam ilmu beberapa tahun di Desa Pawoh, masyarakat Labuhan Tarok, Meukek, Aceh Selatan meminta abuya untuk mengajar dan membuka pengajian di pemukiman mereka.
Setelah terlebih dahulu mendapat izin dan restu dari gurunya Abuya Syekh H. Zakaria Labay Sati dan Abuya Syekh H Muda Waly al-Khalidy. Keinginan masyarakat Meukek tersebut, dipenuhi beliau.
Di Labuhan Tarok, Abuya Zamzami Syam bersama guru-guru lain dan didukung masyarakat, mendirikan sebuah dayah yang diberi nama Al Asy’ariyah. Di dayah inilah, Abuya Zamzami Syam mengajar hingga lima tahun lamanya dan beberapa orang santrinya ada yang menjadi ulama.
Berkiprah di Singkil
Setelah tidak lagi mengajar di Dayah Al-Asy’ariyah, Labuhan Tarok, Meukek, Aceh Selatan. Abuya Zamzami Syam, tidak pernah tinggal diam. Ia terus aktif mengamalkan ilmunya dengan berdakwah, mendidik, mengembangkan, dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan Islam kepada jamaah di berbagai daerah.
Setelah tidak lagi mengajar di Dayah Al-Asy’ariyah, Labuhan Tarok, Meukek, Aceh Selatan. Abuya Zamzami Syam, tidak pernah tinggal diam. Ia terus aktif mengamalkan ilmunya dengan berdakwah, mendidik, mengembangkan, dan mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan Islam kepada jamaah di berbagai daerah.
Dakwah ini dilakukan dengan metode bersafari, bergerak (mobil) dari satu tempat ke tempat lain. Seperti, Takengon, Tapaktuan, Kutacane, dan Singkil terutama pada saat memperingati hari-hari besar keagamaan.
Abuya Zamzami Syam datang berdakwah di wilayah Singkil, untuk pertama kali, yaitu pada masyarakat Simpang Kanan atau tepatnya masyarakat Kota Rimo sekarang. Setelah beberapa kali berdakwah di Rimo, baru berdakwah pula pada masyarakat Singkil.
Karena penyampaian dan metode dakwah Abuya Zamzami Syam, sangat memikat, menarik, dan pengetahuan keislaman sangat tinggi, pepatah-petitihnya sangat digemari, membuat para jamaah antusias mendengar, belajar, dan mendapatkan ilmu yang mendalam dari Abuya Zamzami Syam.
Dalam berceramah, Abuya Zamzami Syam, sangat piawai, kata Syafruddin seorang alumni pesantren Darul Hasanah dalam suatu wawancara dengan penulis. “Abuya kalau berceramah, sangat bersemangat dan tahan berjam-jam berdiri di podium. Jamaah yang mendengar, tidak bosan apalagi mengantuk. Masyarakat ketika itu, memberi julukan pada Abuya sebagai ulama singa podium,” ucap Syafruddin.
Karena itu tak ayal, para jamaah terutama yang ada di Rimo dan Singkil “memperebutkan” Abuya supaya mau menetap dan mengajar di tempat mereka. Berbagai bujuk rayu dari jamaah ke dua daerah dilakukan.
***
Setelah mempertimbangkan beberapa hal, sekitar tahun 1969, Abuya Zamzami Syam pun menetap dan mengajar di Singkil dan sekali-kali, juga berdakwah ke Rimo.
Di Singkil, hampir setiap hari, Abuya Zamzami Syam, berdakwah dari masjid ke masjid dan dari mushala ke mushala. Ia tanpa merasa penat dan lelah. Terkadang beliau berdakwah ke daerah pinggir sungai dan tidak jarang juga berdakwah ke daerah kepulauan.
Dakwah yang dilakukan beliau, tidak saja pada masjid dan mushala yang berada di Kota Singkil. Melainkan juga, masjid dan mushala yang berada di Kemukiman Kuala Baru, Rantau Gedang, Kemukiman Gosong Telaga, Kecamatan Pulau Banyak, Teluk Rumbia dan lainnya. Tidak jarang, Abuya acap diundang berceramah ke kantor-kantor pemerintah.
Di samping itu, Abuya Zamzami Syam juga menjadi guru di Madrasah Islam Hasaniyah, sebuah madrasah yang didirikan beberapa orang tokoh masyarakat Singkil yang terletak di Belakang Masjid Baiturrahim, Pasar Singkil.
“Masyarakat Singkil, sangat segan dan menaruh simpati dengan Abuya Zamzami Syam. Sehingga sebuah acara keagamaan seakan belum berkah kalau Abuya tidak hadir di dalamnya,” ucap Ustad Damanhuri Basyir.
Dari hari kesehari, jamaah dan santri Abuya Zamzami Syam, terus bertambah. Pendidikan di madrasah Hasaniyah pun terus menunjukkan kegairahan dan kemajuan yang signifikan.
Tentang keberhasilan dakwah dan pendidikan yang dilancarkan Abuya Tengku Syekh Zamzami Syam di Singkil, Dekan Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Ustad DR. Damanhuri Basyir, M.Ag kepada penulis menuturkan, karena berkembang pesat dan suburnya pengajian-pengajian dan kegairahan menuntut ilmu keislaman di Singkil sangat tinggi yang notabene dipelopori oleh Abuya Zamzami Syam dan ulama lainnya, membuat abuya mendapat tempat di relung hati masyarakat. Beliau sangat dihormati.
“Masyarakat Singkil, sangat segan dan menaruh simpati dengan Abuya Zamzami Syam. Sehingga sebuah acara keagamaan seakan belum berkah kalau Abuya tidak hadir di dalamnya,” ucap Ustad Damanhuri Basyir.
Melihat gelagat dakwah yang terus maju dan animo masyarakat pun sangat tinggi dan positif, Abuya Zamzami Syam berniat dan bertekad ingin mendirikan pondok pesantren di Kota Singkil.
Lantas niat dan maksud baik ini, disampaikannya kepada tokoh masyarakat Singkil dan sekitarnya, mereka pun setuju dan gayung pun bersambut. Hasrat abuya, tidak bertepuk sebelah tangan.
Setelah melalui proses dan persiapan yang panjang, Pada tahun 1972 di pancakkanlah, batu pertama pembangunan pesantren di Kampung Kilangan, tidak berapa jauh dari Makam Syekh Abdurrauf al-Singkili. Pesantren ini, diberi nama Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil.
Nama ulama besar Aceh ini ditambalkan pada nama pesantren ini, dimaksudkan agar santri yang belajar memiliki akhlak, ilmu, harkat, dan martabat, seperti layaknya sosok Abdurauf al-Singkili.
Kiprah dalam pembangunan Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil
Sebagaimana proses pendirian pesantren lainnya, Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil ini juga didirikan dengan membuat pondok-pondok sederhana dari kayu papan dan atap daun rumbia.
Pembangunan pesantren ini, sepenuhnya dibantu dan didanai oleh tokoh-tokoh masyarakat dan para dermawan. Bahkan, masyarakat biasa yang tergugah hatinya ingin berpartispasi dalam kemajuan ajaran Islam, bahu membahu menyumbangkan apa yang ada pada mereka demi pembangunan dan pengembangan pesantren ini. Ada yang menyumbang harta, tenaga, dan pikiran.
Apalagi masyarakat Singkil berkeyakinan, “siapa yang menolong agama Allah. Allah pasti akan menolong dirinya di dunia dan akhirat kelak.”
“Di samping diajarkan kitab kuning, kepada santri pun diajarkan pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sejarah dan sebagainya,” ucap Damanhuri Basyir.
Setelah Pesantren Darul Hasanah berdiri, dayah ini menjadi salah satu pusat pendidikan Islam di wilayah Singkil dan sekitarnya. Santri yang belajar di pesantren itu, bukan saja dari Singkil dan sekitarnya. Melainkan juga datang dari berbagai pelosok Aceh.
Para santri yang belajar di Pesantren Darul Hasanah, ada kelompok santri yang bermukim atau tinggal di asrama yang telah disediakan. Ada juga yang tidak menginap. Mereka tetap di tinggal di rumah orangtuanya masing-masing. Umumnya lokasi rumah mereka tidak terlalu jauh dari pesantren.
Santri-santri ini, secara rutin diajari Abuya Tengku Zamzami berbagai ilmu alat secara terjadwal. Yaitu, pada sore hari, malam, dan bakda subuh.
Di samping itu, beliau tetap mengajar tata cara beribadah dan berbagai ilmu fardhu ain pada masyarakat, khususnya golongan tua kaum ibu dan kaum bapa. Biasanya, dilaksanakan di masjid atau surau-surau.
Ustad Dr. Damanhuri Basyir, M.Ag, Dekan Fakultas UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang juga alumni dari Pesantren Darul Hasanah, kepada penulis (18/1 2015) mengatakan, sekali seminggu, Abuya membuat pengajian besar yang diikuti semua santri dan guru pesantren (semacam stadium general).
Guru-guru dan santri senior menyampaikan berbagai persoalan baik yang bersumber dari kitab maupun masalah sosial kemasyarakatan. Lalu secara bergiliran ditanggapi dan dibahas secara mendalam. Bilamana ada bahasan tidak tuntas, baru mendapat penjelasan dan simpulan akhir dari Abuya.
Dalam melakukan pengajaran, tambah Ustad Damanhuri, di samping Abuya Zamzami Syam menerapkan sistem halaqah dengan cara lesehan, juga menerapkan pendidikan sistem sekolah. Belajar dengan menggunakan bangku, terutama saat mengajar di Madrasah Hasaniyah.
“Di samping diajarkan kitab kuning, kepada santri pun diajarkan pelajaran matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sejarah dan sebagainya,” ucap Damanhuri Basyir.
Pasantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh potensial yang ahli di bidang pendidikan Islam, pendakwah, ahli tarekat, pemimpin dan berbagai bidang keahlian lainnya. Dan juga ribuan jamaah tarekat dan suluk. Baik saat ini berdomisili di Singkil maupun di daerah-daerah lain.***
Abuya Zamzami Syam banyak menghabiskan masa hidupnya melaksanakan proses belajar mengajar dan berdakwah untuk kejayaan Islam di Singkil khususnya. Saban hari, waktu-waktu yang ada diisi abuya dengan mengajar dan berdakwah serta menyelesaikan berbagai keumatan.
Di samping itu, pada tahun 1999 atas izin dari gurunya Abuya H Amran Waly Al- Khalidy secara inten dan istiqamah, Abuya Tengku Syekh Zamzami Syam, membuka tawajuh setiap malam Sabtu dan suluk setiap bulan Ramadhan di Pondok Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil.
Selain itu, Abuya Zamzami Syam, turut andil dan pegang peranan dalam pengembangan Pengajian Tauhid-Tasawuf di Aceh Singkil dan sekitarnya.
Berkat ketekunan dan kesungguhan Abuya Zamzami Syam dan para jamaah serta santrinya melaksanakan proses belajar mengajar, Pasantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh potensial yang ahli di bidang pendidikan Islam, pendakwah, ahli tarekat, pemimpin dan berbagai bidang keahlian lainnya. Dan juga ribuan jamaah tarekat dan suluk. Baik saat ini berdomisili di Singkil maupun di daerah-daerah lain.
Karena itu tidak bisa dibantah, bahwa Abuya Zamzami Syam, merupakan sosok ulama dan pendidikan yang berhasil dalam mendidik dan membina para jamaah, putra-putri Aceh Singkil menjadi manusia yang berkualitas.
Abuya Tengku Syekh Zamzami Syam juga termasuk ulama yang berhasil menggairahkan kehidupan beragama di Singkil dan terus membangun citra Singkil sebagai daerah yang masyarakatnya taat dalam menjalankan syariat Islam.
Karena dedikasinya itu, layak agaknya Abuya Tengku Syekh H Zamzami Syam diberi julukan sebagai ulama reformis pendidikan Islam dan dakwah di Singkil. Bahkan, di Aceh.
Sangat pantas kiranya, pemerintah menganugerahkan penghargaan atau award kepada beliau sebagai rasa terima kasih dan apresiasi terhadap perjuangan dan darma baktinya.
Latar Belakang Keluarga Abuya Teungku Syeikh H Zamzami Syam
Selesai belajar di Perguruan Tarbiyah Islamiyah Malalo Padang Panjang, ia tidak langsung pulang ke Aceh. Ia menjadi asisten Syekh H. Zakaria Labay Sati Malalo di almamaternya.
Tidak berapa lama mengajar, gurunya Syekh Zakaria Labay Sati menjodohkan Abuya Zamzami Syam dengan Umi Siti Rahimi, seorang santri putri yang santun, cantik, dan kemayu. Umi Siti Rahimi ini, salah satu santri putri yang sangat disayangi oleh Syekh H. Zakaria Labay Sati Malalo karena kecerdasannya dalam bidang ilmu nahu-saraf.
Karena Abuya Zamzami Syam, takzim pada guru. Ia pun melangsungkan pernikahan dengan Umi Siti Rahimi. Buah cinta dari perkawinan dengan Umi Siti Rahimi, Abuya dikaruniai dua orang anak, Tajuddin dan Syarifah. Namun belum sempat Syarifah berusia remaja, Allah SWT memangil kehadirat-Nya.
Setelah lima belas tahun berada di Sumatera Barat, tahun 1950-an Abuya Zamzami Syam bersama isteri dan satu orang anaknya, pulang ke Trieng Meudoro Baroh, kampung halaman tanah tumpah darah.
Tidak berapa lama tinggal di Trieng Maduro Baroh, orangtua Zamzami Syam, H. Muhammad Syam dan isterinya Hj. Sau’nah, menghubungi isterinya Umi Siti Rahimi dan berbicara dari hati ke hati. Salah satu pembicaraan antara mertua dan menantu itu, adalah tentang keinginan atau niat mereka yang belum kesampaian. Yaitu, ingin menjodohkan Abuya Zamzami Syam dengan Umi Siti Rahmah binti Tgk. Wahab yang juga termasuk kerabat dari mereka.
Namun, niat itu belum pernah kesampaian karena keburu Abuya Zamzami Syam berangkat menuntut ilmu ke Sumatera Barat. Nah, sekarang beliau telah kembali ke kampung, jadi orangtuanya ingin mewujudkan niat tersebut.
Setelah lima belas tahun berada di Sumatera Barat, tahun 1950-an Abuya Zamzami Syam bersama isteri dan satu orang anaknya, pulang ke Trieng Meudoro Baroh, kampung halaman tanah tumpah darah.
Penyampaian orangtuanya ini, diterima dengan baik oleh Umi Siti Rahimi. Dan akhirnya Abuya Zamzami Syam pun menikah lagi dengan dara Aceh Umi Siti Rahmah binti Tgk. Wahab, Gadis pilihan orangtuanya. Dari pernikahan itulah, lahirlah delapan orang anak. Yaitu, Dra. Marniati Zamsya, MM, Drs. M. Wali Syam, Ainiyati, S.Ag, dan Fauziati, S.Ag, sementara empat orang lainnya meninggal dunia.
Setelah menikah dengan Umi Siti Rahmah, disaat Abuya Zamzami Syam mengajar di Pawoh, Labuhan Haji, seorang orang tua jamaah pengajiannya memiliki seorang anak gadis yang sedang sakit. Dalam keadaan sakit itu, orang tuanya bernazar, ‘jika anak gadisnya sembuh, ia akan menjodohkan dengan Abuya Tengku Zamzami Syam.’
Dengan takdir Allah, anak gadis itu pun sembuh. Lantas nazar tadi pun ditunaikan. Anak gadis yang telah sembuh tadi, dinikahkan oleh orangtuanya dengan abuya.
Karena ini suatu nazar, Abuya Tengku Zamzami Syam pun menerima pernikahan yang ketiganya dengan Umi Zubaidah binti Muhammad Nur dari Desa Padang Bakau, Labuhan Haji.
Dalam pernikahan dengan umi tersebut, Abuya Zamzami Syam dikarunia seorang anak perempuan bernama Eni Yusnidar, S.PdI yang sekarang tinggal di Meulaboh, Aceh Barat.
Pada tahun 1993 isteri keduanya Umi Siti Rahmah binti Tgk. Wahab, yang dibawahnya ke Singkil, berpulang kerahmatullah. Lantas Abuya Zamzami Syam menikah lagi dengan Umi Hj. Zuraidah Shaleh. Namun dalam perkawinannya ini, mereka tidak dikaruniai anak.
Dengan demikian, Abuya Syekh Tengku H Zamzami Syam, memiliki empat orang isteri dan sebelas orang anak. lima orang anak yang hidup sampai sekarang dan enam orang telah berpulang kerahmatullah.
Makam
Pada hari Jum’at tanggal 18 Januari 2013 M bertepatan dengan 06 Rabiul Awal 1434 H sekitar pukul 15.17, Abuya Syekh Tengku H Zamzami Syam, berpulang keramahtullah dalam usia lebih kurang 90 tahun.
Pada hari Jum’at tanggal 18 Januari 2013 M bertepatan dengan 06 Rabiul Awal 1434 H sekitar pukul 15.17, Abuya Syekh Tengku H Zamzami Syam, berpulang keramahtullah dalam usia lebih kurang 90 tahun.
Saat beliau meninggal, ribuan umat Islam dari berbagai penjuru baik yang berada di Aceh Singkil maupun dari daerah lain datang melayat, turut berduka cita, dan memberikan penghormatan terakhir.
Berdasarkan kesepakatan keluarga dan pertimbangan berbagai hal, Abuya Syekh Tengku H. Zamzami Syam dimakamkan di komplek Pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil sekitar lima meter dari masjid.
Abuya Syekh Zamzami Syam, meninggalkan satu orang isteri, lima orang anak, 20 orang cucu dan satu orang cicit. Abuya juga, meninggalkan sebuah pondok pesantren Darul Hasanah Syekh Abdurrauf Singkil yang sekarang (sejak tahun 2013) kepemimpinannya dilanjutkan oleh cucu kandungnya, Abu Muda Irsyadul Fikri, S.Pd.I, anak dari M. Wali Syam.[]
Narasumber. Aceh trend
0 Response to "Jejak Langkah Abuya Tengku Syekh H Zamzami Syam"
Post a Comment